MyMetaTag

google-site-verification: google3729451bda6c8dcd.html

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday, May 16, 2010

Thursday, May 13, 2010

30 Tahun Islamic Center of Boston, Open House untuk Non-Muslim

Selasa, 11/05/2010 08:43 WIB dari eramuslim.com


"Assalamu'alaikum, salam sejahtera untuk Anda semua," kata Dr. Malik Khan, menyambut tamu-tamu yang datang ke Islamic Center of Boston (ICB).

Sebagai presiden ICB, ia bersama komunitas Muslim lainnya di Boston menerima para tamu undangan dari berbagai latar belakang agama untuk merayakan 30 tahun berdirinya ICB yang beralamat di 126 Boston Post Road, Wayland. Sebagai bagian dari perayaan itu, ICB akan menggelar acara open house tanggal 15 Mei mendatang, bagi warga Boston yang ingin mengetahui lebih jauh atau belajar tentang agama dan sejarah Islam.

"Kami ingin membuka pintu rumah kami agar kita saling mengenal sebagai bagian dari masyarakat. Kita semua sedang menghadapi isu-isu yang rumit dan saling mengenal bisa meredakan ketegangan. Pada kesempatan ini, pengunjung bisa menanyakan apa saja, hal-hal yang mungkin selama ini takut mereka tanyakan, tentang Islam," kata Dr Khan yang sudah dua periode terpilih sebagai presiden ICB.

Open house yang akan berlangsung mulai pukul 11.00-16.00 terbuka untuk umum, termasuk non-muslim. Ketua panitia open house, Dr. Abdul Kadir Asmal mengatakan, acara ini sekaligus untuk menjawab kekhawatiran publik AS, khususnya warga Boston, menyusul penangkapan seorang muslim AS asal Pakistan yang mengaku sebagai pelaku rencana serangan ke Times Square, New York yang berhasil digagalkan oleh kepolisian AS dua pekan yang lalu.

"Kami akan menjawab pertanyaan apa saja dari para pengunjung, bahkan pertanyaan yang tidak enak sekalipun. Para pengunjung tidak perlu merasa sungkan, karena kami berharap, ketika mereka meninggalkan Islamic Center ini, mereka merasa telah mendapatkan respon yang jujur dari kami," ungkap Dr. Asmal.

ICB didirikan pada tahun 1980. Sebelum punya gedung sendiri, ICB menggunakan ruang sekolah Cambridge untuk memberikan pendidikan budaya dan bahasa pada komunitas Muslim di Wayland. Tahun 1986, mereka membeli sebidang tanah dan membangun gedung ICB yang kemudian menjadi pusat kegiatan pendidikan dan keagamaan. Tahun 1992, ICB yang terus berkembang, membangun masjid yang memiliki delapan ruangan, sekolah dan pusat kegiatan sosial komunitas Muslim yang menjadi gedung Islamic Center of Boston hingga sekarang.



Dr. Asmal mengatakan, pasca serangan 11 September 2001, dimana komunitas muslim harus menghadapi pencitraan sebagai "teroris", jamaah ICB aktif melakukan pertemuan dan dialog dengan pemuka dari berbagai agama, kepolisian dan tokoh-tokoh masyarakat untuk "memulihkan citra Islam yang tercoreng oleh ulah para teroris."

"Sekarang, kami bisa merasakan bahwa kami adalah bagian dari solusi. Kami ingin mempromosikan keyakinan agama kami bahwa tak ada satu pun dalam Islam yang tidak sejalan dengan keinginan untuk menjadi seorang warga Amerika yang loyal," ujar Dr. Asmal yang dengan keras mengecam para teroris yang telah menyelewengkan pesan perdamaian dan persaudaraan yang diajarkan agama Islam.

"Islam adalah 'cara hidup berdasarkan tuntutan Tuhan yang abadi dan tidak akan pernah berubah' yang diturunkan mulai dari Nabi Adam, Ibrahim, Musa bahkan Yesus. Islam tidak mengajarkan kebencian. Menyakiti dan membunuh umat manusia tak berdosa adalah tidakan yang sangat tidak beretika dalam Islam," tukas Dr. Asmal yang berimigrasi ke AS sejak tahun 1980.

Dalam acara open house nanti, Presiden ICB Dr. Malik Khan akan mengajak pengunjung "tur" keliling kompleks ICB dimana terdapat perpustakaan, ruang kelas tempat belajar bahasa Arab dan Al-Quran dan tentu saja ruangan besar tempat melaksanakan salat berjamaah. ICB juga menyelenggarakan kegiatan dialog antar umat beragama yang pesertanya berasal dari kalangan muslim dan non-muslim.

Salah satu peserta kegiatan itu adalah Mary Ann Borkowski. Ia mengungkapkan, setelah peristiwa pemboman gedung FBI di Oklahoma pada tahun 1995, warga Wayland mulai ingin memahami mengapa umat Islam yang dituding melakukan tindakan keji yang akhirnya diketahui dilakukan oleh seorang teroris Kristen kulit putih bernama Timothy McVeigh.

"Saya pikir, penting bagi masyarakat untuk tidak berpikir negatif terhadap komunitas yang belum mereka kenal. Mereka yang bukan Muslim, selayaknya mendidik mereka sendiri dengan pengetahuan agama yang dianut hampir seperempat penduduk dunia ini," kata Borkowski yang menganut agama Kristen Lutheran.

"Kaum Muslimin adalah tuan rumah yang hebat. Mereka yang ada di ICB bersikap baik, cepat memberikan bantuan dan sangat ingin membuka pintu 'rumah' mereka. Mereka menganggap kami, non-muslim, sebagai saudara mereka," kata Borkowski. (ln/isc/ICB)

Saturday, May 8, 2010

ANALISIS KRISIS EKONOMI POLITIK NEGARA THAILAND

BAB I
LATAR BELAKANG

Krisis saat ini bermula di bulan September 2006, ketika militer melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Thaksin Shinawatra, menghapus Konstitusi populis tahun 1997 dan menggantikannya dengan konsttusi yang dibuat oleh militer. Kaum royalis Yellow Shirts mulai mengorganisir demonstrasi yang berwatak fasis ketika partai pro-Thaksin memenangkan pemilihan umum 2007. Pemerintahan Ahbisit sekarang ini dibentuk oleh militer setelah mobilisasi fasis oleh Kaos Kuning dan satu kudeta melalui pengadilan.
Pemerintah, militer dan Yellow Shirts ketakutan menghadapi pemilihan umum yang benar-benar demokratis, karena mereka sadar bahwa mereka akan kalah karena mayoritas kaum miskin mendukung Kaos Merah. Ahbisit dan elit penguasa menolak untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum dan mencoba mengulur waktu dan bahkan menyiapkan tindakan represif. Sudah jelas bahwa Ahbisit dan kaum elit lama akan membawa negeri tersebut menuju kediktatoran fasis.
Thailand telah memasuki satu tahap perang kelas yang baru. Kaum elite penguasa lama dengan dukungan militer telah mempergunakan segala cara untuk melindas demokrasi di Thailand. Kaus Merah pro-demokrasi mayoritas terdiri dari kelas pekerja, petani dan kaum miskin, telah menunjukan dukungan rakyat dan memobilasi kekuatannya yang benar-benar telah mengejutkan kaum royalis (pendukung kerajaan) dan militer.
Dengan semakin meluasnya dukungan massa terhadap Kaos Merah, akan menjadi satu tahap baru dan menentukan dalam perjuangan rakyat di Thailand untuk mengembalikan demokrasi dan keadilan sosial.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Bentuk Negara Thailand
Kerajaan Thailand (nama resmi: Ratcha Anachak Thai; juga Prathet Thai), kadangkala juga disebut Mueang Taek, adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang berbatasan dengan Laos dan Kamboja di timur, Malaysia dan Teluk Siam di selatan, dan Myanmar dan Laut Andaman di barat. Thailand dahulu dikenal sebagai Siam sampai tanggal 11 Mei 1949. Kata "Thai" berarti "kebebasan" dalam bahasa Thailand, namun juga dapat merujuk kepada suku Taek, sehingga menyebabkan nama Siam masih digunakan di kalangan orang Thai terutama kaum minoritas Tionghoa.
Negeri seluas 510.000 kilometer ini kira-kira seukuran dengan Perancis., Thailand berbatasan dengan Myanmar, di timur laut dengan Laos, di timur dengan Kamboja, sedangkan di selatan dengan Malaysia. Secara geografis, Thailand terbagi enam: perbukitan di utara di mana gajah-gajah bekerja di hutan dan udara musim dinginnya cukup baik untuk tanaman seperti strawberry dan peach; plateau luas di timur laut berbatasan dengan Sungai Mekong; dataran tengah yang sangat subur; daerah pantai di timur dengan resor-resor musim panas di atas hamparan pasir putih; pegunungan dan lembah di barat; serta daerah selatan yang cantik.

B.Sejarah Negara Thailand
Kebudayaan Masa Perunggu diduga dimulai sejak 5600 tahun yang lalu di Thailand (Siam). Kemudian, datang berbagai imigran antara lain suku bangsa Mon, Khmer dan Thai. Salah satu kerajaan besar yang berpusat di Palembang, Sriwijaya, pernah berkuasa sampai ke negeri ini, dan banyak peninggalannya yang masih ada di Thailand. Bahkan, seni kerajinan di Palembang dengan Thailand banyak yang mirip.
Di awal tahun 1200, bangsa Thai mendirikan kerajaan kecil di Lanna, Phayao dan Sukhotai. Pada 1238, berdirilah kerajaan Thai yang merdeka penuh di Sukhothai ('Fajar Kebahagiaan'). Di tahun 1300, Sukhothai dikuasai oleh kerajaan Ayutthaya, sampai akhirnya direbut oleh Burma di tahun 1767. Jatuhnya Ayutthaya merupakan pukulan besar bagi bangsa Thai, namun tak lama kemudian Raja Taksin berhasil mengusir Burma dan mendirikan ibukotanya di Thon Buri. Di tahun 1782 Raja pertama dari Dinasti Chakri yang berkuasa sampai hari ini mendirikan ibukota baru di Bangkok.
Raja Mongkut (Rama IV) dan putranya, Raja Chulalongkorn (Rama V), sangat dihormati karena berhasil menyelamatkan Thailand dari penjajahan barat. Saat ini, Thailand merupakan negara monarki konstitusional, dan kini dipimpin oleh YM Raja Bhumibol Adulyadej.

C. Sistem Politik Thailand
Sang raja mempunyai sedikit kekuasaan langsung di bawah konstitusi namun merupakan pelindung Buddhisme Thailand dan lambang jati diri dan persatuan bangsa. Raja yang memerintah saat ini dihormati dengan besar dan dianggap sebagai pemimpin dari segi moral, suatu hal yang telah dimanfaatkan pada beberapa kesempatan untuk menyelesaikan krisis politik. Kepala negara adalah Perdana Menteri, yang dilantik sang raja dari anggota-anggota parlemen dan biasanya adalah pemimpin partai mayoritas.
Parlemen Thailand yang menggunakan sistem dua kamar dinamakan Majelis Nasional atau Rathasapha - รัฐสภา, yang terdiri dari Dewan Perwakilan (Sapha Phuthaen Ratsadon - สภาผู้แทนราษฎร) yang beranggotakan 480 orang dan Senat (Wuthisapha - วุฒิสภา) yang beranggotakan 150 orang. Anggota Dewan Perwakilan menjalani masa bakti selama empat tahun, sementara para senator menjalani masa bakti selama enam tahun. Badan kehakiman tertinggi adalah Mahkamah Agung (Sandika - ศาลฎีกา), yang jaksanya dilantik oleh raja. Thailand juga adalah anggota aktif dalam ASEAN.

BAB III
ANALISIS MASALAH

A. Latar Belakang Krisis Thailand
Thailand adalah sebuah Negara yang unik, yang ekonomi dan politiknya dapat terus melanjutkan tradisinya serta menjadi salah satu Negara di kawasan ini yang tidak pernah di jajah oleh Negara lain. Yang sering di catat adalah adanya kerjasama harmonis antara kerajaan dengan pemegang otoritas “kekuasaan”. Belakangan kita mengetahui, bahwa dibalik keberhasilan negeri ini, adalah adanya kerjasama yang saling mendukung antara kerajaan dan pihak militer. Boleh dikatakan, berapa kalipun militer merebut kekuasaan, sepertinya” kerajaan” terus saja “merestuinya”; tetapi berbeda sekali ketika militer, mengkudeta pemerintahan Thaksin pada tahun 2006, meski Raja “memberikan restunya”, tetapi rakyat ternyata mempunyai pertimbangan yang berbeda. Di satu sisi, mereka tetap menyangi sang Raja, tetapi di sisi lain, mereka memilih partai, yang justeru jadi lawan Rajanya.
Krisis saat ini bermula di bulan September 2006, ketika militer melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Thaksin Shinawatra, menghapus Konstitusi populis tahun 1997 dan menggantikannya dengan konsttusi yang dibuat oleh militer. Kaum royalis Yellow Shirts mulai mengorganisir demonstrasi yang berwatak fasis ketika partai pro-Thaksin memenangkan pemilihan umum 2007. Pemerintahan Ahbisit sekarang ini dibentuk oleh militer setelah mobilisasi fasis oleh Kaus Kuning dan satu kudeta melalui pengadilan.
Pemerintah, militer dan Yellow Shirts ketakutan menghadapi pemilihan umum yang benar-benar demokratis, karena mereka sadar bahwa mereka akan kalah karena mayoritas kaum miskin mendukung Kaus Merah. Ahbisit dan elit penguasa menolak untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum dan mencoba mengulur waktu dan bahkan menyiapkan tindakan represif. Sudah jelas bahwa Ahbisit dan kaum elit lama akan membawa negeri tersebut menuju kediktatoran fasis.
Thailand telah memasuki satu tahap perang kelas yang baru. Kaum elite penguasa lama dengan dukungan militer telah mempergunakan segala cara untuk melindas demokrasi di Thailand. Kaus Merah pro-demokrasi mayoritas terdiri dari kelas pekerja, petani dan kaum miskin, telah menunjukan dukungan rakyat dan memobilasi kekuatannya yang benar-benar telah mengejutkan kaum royalis (pendukung kerajaan) dan militer.
Dengan semakin meluasnya dukungan massa terhadap Kaos Merah, akan menjadi satu tahap baru dan menentukan dalam perjuangan rakyat di Thailand untuk mengembalikan demokrasi dan keadilan sosial.
Dari catatan yang bisa saya kumpulkan dari Kompas dan Media Indonesia, kita melihat di awal tahun 2008, Militer Thailand mengakui bahwa kudeta yang mereka lakukan terhadap PM Thaksin Shinawatra, september 2006 telah gagal. Kudeta tersebut tidak sanggup menghapus pengaruh Thaksin. Pernyataan tsb dinyatakan oleh Kepala Angkatan Udara Thailand Chalit Pukbhasuk. Bahkan kekuatan Thaksin malah bangkit. Boleh dikatakan, kabinet Samak didominasi oleh sekutu-sekutu Thaksin. Chalit juga mengumumkan bahwa Dewan Keamanan Nasional (CNS), yang dibentuk militer pasca kudeta untuk menjalankan kekuasaan, secara resmi dibubarkan. Pernyataan itu juga sekaligus memintakan permohonan maaf kepada rakyat, karena tidak berhasil, CNS memang tidak mencoba merebut kekuasaan; menurut mereka, militer telah berbuat yang terbaik untuk negeri itu; atas nama CNS saya memintak maaf katanya.
Ketika KPU Thailand 23 Desember 2007, mengumumkan, Partai Kekuatan Rakyat (PPP, pendukung Thaksin) meraih 233, dari 480 kursi Majelis Rendah. Atau hanya kurang 8 kursi agar jadi posisi mayoritas. Sementara Partai Demokrat (Partai Militer yang didukung oleh Raja Bhumibol) hanya memperoleh 165 kursi. Lainnya partai Chart Thai 40, dan Puea Pandin 24 kursi. Setelah membentuk koalisi, ppp dan sekutunya menguasai 315 kursi di parlemen; 28 Januari 2008 Samak Sundaravej terpilih sebagai PM Thailand dengan merebut 310 suara parlemen; tanggal 29 Januari 2008 Samak resmi jadi PM Thailand setelah direstui oleh Raja.
Bagaimana mungkin, rakyat yang mengelu-elukan Raja pada ulang tahunnya yang ke-80, pada 5 Desember 2007, ternyata dalam pemilu justeru memberikan suaranya kepada PPP, yang juga adalah pendukung Thaksin Shinawatra, mantan PM tersingkir. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah negeri yang begitu menyayangi Rajanya, tetapi ketika dilakukan pemilu, malah justeru memilih partai yang berseberangan dengan sang Raja. Adakah nilai-nilai keadilan, yang semestinya harus di junjung tinggi serta di hormati oleh semua pihak, tetapi lalu diabaikan dan dihinakan? Mungkin ada baiknya kita melihat kejadian yang ada di Thailand, sebagai cermin yang patut untuk jadi bahan renungan, bahwa keadilan, harus tetap jadi pertimbangan, entah bagaimanapun keadaannya.

B. Dampak Krisis Politik Thailand dan Ekonomi ASEAN
Akibat kerusuhan aksi masa anti pemerintah di Pattaya Thailand, mengakibatkan pelaksanaan KTT ASEAN+3 yang sedianya dilaksanakan tanggal 11-12 April 2009 ditunda. Konsekuensinya, pembahasan mengenai langkah ASEAN untuk mengatasi dampak krisis global pun tertunda. Padahal dalam forum ini juga direncanakan pembahasan tentang Chiangmai Inititiative yang sangat dibutuhkan sebagai jalan keluar bersama ASEAN yang melibatkan Korea Selatan, Jepang, dan China dari krisis keuangan global.
Sementara akibat dampak krisis politik di dalam negeri dan krisis global, pemerintah Thailand telah memproyeksi penurunan PDB pada 2009 sebesar 5% yang merupakan lebih rendah 3% dibandingkan prediksi sebelumnya. Menteri Keuangan Thailand Korn Chatikavanij mengungkapkan kinerja perekonomian negerinya diprediksi mengkerut -2,5% pada 2009. Volume angka perdagangan ekspor untuk produk dan jasa diestimasikan menurun -25,2% per tahun pada 2008. secara partikular investasi swasta diproyeksikan menurun 6,1% per tahun, seiring dengan para investor menunda untuk menanamkan investasi di Thailand akibat krisis politik yang belum kunjung mereda.
Pemerintah Thailand juga merevisi data final angka kunjungan wisatawan pada 2008 ke negara itu. Padahal sektor pariwisata salah satu penopang utama perekonomian negara itu. Angka kunjungan wisatawan pada 2008 diproyeksikan 14,3 juta kunjungan yang berarti sama dengan realisasi angka kunjungan pada 2007. Sebelumnya angka kunjungan wisatawan pada 2008 diperkirakan meningkat dibandingkan pada 2007. Meskipun angka ini diprediksi membaik pada kwartal I 2009, namun akan tetap menurun jika dibandingkan kwartal I 2008. Pemerintah Negeri Gajah Putih itu memproyeksi angka kunjungan wisatawan pada 2009 tidak kurang dari 14 juta kunjugan, sedikit menurun dibandingkan 2007 dan 2008. Namun ini masih tergantung pada situasi lokal dalam negeri, maupun regional dan global.
Berdasarkan proyeksi ADB pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN diprediksi menurun pada 2009 hanya sebesar 0,7% dan 2010 sebesar 4,2%. Diantaranya, penurunan terenda dialami Singapura -5% (2009) dan 3,5% (2010). Kemudian diikuti Thailand kinerja ekonominya -2% (2009) dan 3,0% (2010). Malaysia -0,2% (2009) dan 4,4% (2010), Brunei Darussalam -0,4% (2009) dan 2,3% (2010). Kamboja dan Filipina diproyeksi tumbuh 2,5% pada 2009, namun pada 2010 Filipina (3,5%), dan Kamboja (4,0%). Indonesia diprediksi tumbuh 3,6% (2009) dan 5,0% (2010), Vietnam 4,5% (2009) dan 6,5% (2010), serta Laos 5,5% (2009) dan 5,7% (2010).

C. Berkaca Pada Kaos Merah Thailand
Hari-hari belakangan ini kita melihat Thailand, sibuk dan dilanda upaya pembangkangan Sipil, yang dimotori oleh kelompok kaos merah, para pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang hingga kini masih menjadi pusat konflik di negara itu. Apa sesungguhnya yang mereka tuntut? Adalah sebuah keadilan; keadilan yang ternyata “sangat sulit” untuk di pahami. Menurut ketua kelompok kaos merah; ”Apa yang terjadi di masa lalu tidak adil, mereka menyebutnya standar ganda. Kami ingin mengoreksinya, tak hanya untuk Thaksin, tetapi semua orang,” begitu kata Jatuporn, pimpinan Kaos Merah .
Kalau kita baca secara sederhana, sesungguhnya yang terjadi adalah adanya penolakan terhadap keterlibatan militer di ranah demokrasi. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang Thaksin, yang nota bene juga masih dari kalangan pendidikan militer. Bahwa suatu masa dahulu, militer sangat kompeten dan mampu dengan baik mengelola negeri itu, ya. Tetapi zaman sudah berubah, rakyat membutuhkan sesuatu yang lain, hanya saja pihak militer, masih tetap dalam persfektip lama; dan mereka percaya, rakyat masih sangat mendambakannya.
Bedanya dengan di negeri kita, TNI sepenuhnya menyadari bahwa zaman sudah berubah, dan telah mengambil posisi sesuai kehendak demokrasi. Dalam demokrasi yang ada adalah suara rakyat, bukan kekuatan lain. Dalam sistem demokrasi, suara rakyat tidak bisa dikangkangi dan kalau mau mengikuti kehendak zaman, ya harus ikut berdemokrasi dan memperbaiki demokrasi itu sendiri; dengan cara menjadi sesuatu yang professional sesuai panggilan tugasnya. Kita percaya, Thailand pasti bisa melewatinya, sebab Negara itu mempunyai trek record yang tidak bisa diragukan. Persoalannya, akankah cara-cara demokrasi yang akan mengemuka? Sebab dalam batasan operasi militer selain perang secara universal , aktivitas radikal seperti yang diperlihatkan oleh kelompok kaus merah, sudah sah dihadapi dengan kekuatan militer. Hanya saja, kalau itu yang dipakai, maka kaus merah pasti akan mendapatkan legitimasi baru dan keluar sebagai pemenang. Pertarungan sebuah demokrasi.


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Situasi yang kini terjadi di Thailand, dimana Perdana Menteri yang didukung militer, Ahbisit Vejjajiva telah menyatakan Negara dalam keadaan darurat dan memulai tindakan represi berdarah dalam menghadapi meningkatnya eskalasi protes menuntut pemilihan umum ulang yang bersih.
Keadaan semakin mengkuatirkan karena pemerintah Thailand telah menutup semua media oposisi dan memberikan kekuasaan kepada angkatan bersenjata untuk melakukan tindakan represif terhadap demonstran Red Shirts. Pasukan bersenjata Thai telah mempergunakan persenjataan yang berlebihan termasuk tank dan peluru tajam, dalam menghadapi para demonstran pro demokrasi di Bangkok.
Sejak bulan Maret lalu, Front Persatuan untuk Demokrasi melawan Kediktatoran (UDD) atau lebih dikenal dengan Red Shirts telah kembali melakukan demonstrasi besar-besaran melawan pemerintahan Ahbisit yang bukan hasil dari pemilihan umum namun bentukan militer. Gerakan demokrasi ini terdiri dari kaum miskin kota dan pedesaan yang bersikap menentang terhadap kekuasaan oligarki dukungan militer.

B. Saran-Saran
•Pengunduran segera pemerintahan bentukan militer, Ahsbisit dan lakukan pemilihan umum yang bersih dan demokratis.
•Hentikan segala bentuk tindakan represif terhadap demonstran Red Shirts. Hormati hak-hak rakyat untuk berorganisasi, berdemonstrasi dan mogok.
•Hentikan pengekangan terhadap hak-hak demokratik dan pemberangusan media.
•Kepada pemerintah Thailand untuk tidak melakukan kudeta militer.
Krisis yang terjadi di Thailand saat ini hanya dapat diselesaikan melalui demokrasi yang sejati dan kekuasaan rakyat. Kami sampaikan dukungan solidaritas kami kepada semua buruh, petani dan kaum miskin di Thailand yang sedang berjuang melawan pemerintahan anti demokrasi dan untuk memulihkan demokrasi yang sesungguhnya.



DAFTAR PUSTAKA

Kompas, 2010. Thaksin, Militer, dan Melemahnya Dukungan bagi Abhisit. 30 Maret 2010.

“ANALISIS KONDISI EKONOMI POLITIK INDONESIA TAHUN 1945 - 2010"

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia yang merdeka sejak 17 Agustus 1945 hingga saat ini (Mei 2010) masih termasuk dalam Negara Dunia Ketiga. Istilah Dunia Ketiga dimaksudkan sebagai sebutan untuk kelompok negara – negara yang terbelakang. Istilah ini mulai populer sejak tahun 1960-an sebagai hasil rumusan dalam berbagai pertemuan Politik Internasional seperti Konferensi Bandung (1955) dan Konferensi Belgrado (1961).
Dunia pada saat itu dilihat dari pola kemajuannya yang ditandai dengan klasifikasi tiga kelompok negara yaitu : Dunia Pertama (Dunia Bebas atau Blok Antlantik meliputi Eropa Non Komunis dan Amerika Utara), Dunia Kedua (meliputi negara– negara Eropa Timur dan Blok Uni Sovyet), dan Dunia Ketiga (meliputi Asia, Afrika dan Amerika Latin). Dunia Pertama dan Kedua bersama–sama berpenduduk 30% dari jumlah penduduk seluruh dunia (15 milyard, 2001) dan menghuni 40% daratan dunia seluruhnya (total luas bumi 510.074.600 km2, daratan 148.940.540 km2 atau 30% dan lautan 361.134.060 km2 atau 70%). Selebihnya 60% adalah sejumlah besar negara merdeka yang pada umumnya baru melepaskan diri dari penjajahan (tercatat dalam atlas tahun 1991 jumlah negara dunia 206 negara).
Ada beberapa nama tambahan yang diberikan kepada negara–negara yang termasuk Dunia Ketiga (the third world) antara lain, negara terbelakang (backward countries), negara yang belum maju termasuk Indonesia saat ini (under developed countries), negara selatan, dan nama negara–negara miskin (un-developing countries). Umumnya nama yang diberikan memiliki tiga ciri umum yaitu 3K, Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan yang diukur dari indikator GNP per kapita, pendapatan bersih per kapita, jumlah pemakaian energi per kapita, pendapatan bersih per kapita, jumlah pemakaian energi per kepala, tingkat melek huruf, tingkat kematian bayi dan ukuran – ukuran sosial lainnya.
Indonesia di masa Orde Lama (Soekarno, 1945 – 1966) lebih banyak konflik politiknya daripada agenda ekonominya yaitu konflik kepentingan antara kaum borjuis, militer, PKI, parpol keagamaan dan kelompok – kelompok nasionalis lainnya. Kondisi ekonomi saat itu sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965 – 1966.
Indonesia sejak tahun 1967, dibawah pemerintahan militer (Soeharto, 1965 - 1998), menjadi pelaksana teori pertumbuhan Rostow dalam melakukan pembangunan ekonominya. Dalam teori ini, ada lima tahap pertumbuhan ekonomi yaitu, tahap pertama ‘Masyarakat Tradisional’ (The Traditional Society), tahap kedua ‘Pra Kondisi untuk Tinggal Landas’ (The Preconditions for Take-off), tahap ketiga ‘Tinggal Landas’ (The Take-off), tahap keempat ‘Menuju Kedewasaan’ (The Drive to Maturity) dan tahap kelima ‘Konsumsi Massa Tinggi’ (The Age of High Mass-Consumption). Pembangunan di Indonesia dilaksanakan secara berkala untuk waktu lima tahunan yang dikenal dengan PELITA (Pembangunan Lima Tahunan). PELITA I (1 April 1969 – 31 Maret 1974) memprioritaskan sektor pertanian dan industri, PELITA II (1 April 1974 – 31 Maret 1979) memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan dititikberatkan pada sektor pertanian dan peningkatan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku. PELITA III (1 April 1979 – 31 Maret 1984) memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri yang mengolah bahan baku menjadi barang jadi dalam rangka menyeimbangkan struktur ekonomi Indonesia. PELITA IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989) memperioritaskan pembangunan ekonomi dengan titikberat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dengan meningkatkan sektor industri yang menghasilkan mesin – mesin industri berat dan ringan, pembangunan bidang politik, sosbud, pertahanan dan keamanan seimbang dengan pembangunan ekonomi. PELITA V (1 April 1989 – 31 Maret 1999) memprioritaskan pembangunan ekonomi dengan titik berat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian serta industri yang menghasilkan barang ekspor, menyerap tenaga kerja, pegolahan hasil pertanian dan menghasilkan mesin – mesin industri, meningkatkan pembangunan bidang politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Namun pada tanggal 21 Mei 1998, Indonesia mengalami Krisis Moneter yang membuat Soeharto lengser (runtuhnya rezim Orde Baru). Indonesia belum sempat tinggal landas malah kemudian meninggalkan landasannya hingga lupa pijakan ekonominya rapuh dan mudah hancur.
Periode Orde Reformasi (1998 – 2007/sekarang) berjalan tak jelas arahnya. Masa tahun 1998 – 2004 adalah masa transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang ditandai dengan silih bergantinya Presiden Republik Indonesia dalam waktu relatif singkat. Dari B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) kemudian Megawati (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004), semuanya belum menunjukkan pembangunan ekonomi yang berarti. Pembangunan ekonominya berjalan terseok – terseok sebagai akibat kebijakan Rezim yang lalu (Orde Baru) yang membuat pijakan/pondasi ekonominya sangat rapuh dan mudah hancur tersebut, disambut dengan gegap gempita euforia politik rakyat Indonesia yang selama masa Orde Baru dikekang kemudian menjadi bebas lepas di masa Orde Reformasi ini. Dalam masa ini, Indonesia masih mencari jati dirinya kembali dengan mencoba menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata sangat mahal biayanya. Praktis, dana pembangunan banyak teralokasikan untuk pembiayaan pesta demokrasi tersebut, mulai dari Pemilihan Presiden (PILPRES, periode 2004 - 2009) langsung oleh rakyat, yang menghasilkan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hingga berbagai Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang masih berlangsung silih berganti hingga saat ini di berbagai daerah di wilayah nusantara ini.

B. Batasan Masalah dan Tujuan Penulisan
Proses pembangunan di Indonesia sudah dilakukan selama 64 tahun, namun masih banyak rakyatnya yang miskin, kebodohan masih banyak ditemui terutama di wilayah pedesaan, pengangguran dimana–mana, nilai rupiah terhadap dolar terpuruk, dan sebagainya. Sebenarnya apa yang salah dalam proses pembangunan di Indonesia? Mengapa semua itu terjadi? Pertanyaan ini menarik untuk dikaji dan dianalisis. Dan dengan maksud itulah tulisan ini dibuat.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Ekonomi Politik yang Ideal
Good Governance adalah cara mengatur pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengadilannya bisa diandalkan dan administrasinya bertanggung jawab pada publik (Meier, 1991:299-300). Dan dalam pemerintahan seperti ini mekanisme pasar merupakan pertimbangan utama dalam proses pembuatan keputusan mengenai alokasi sumber daya. Dua tipe ideal ekonomi yang diletakkan dalam 2 kutub berlawanan, yakni:
1.Kutub “Laissez-Faire, cenderung penciptaan “good governance”;
2.Kutub Dirigisme / Hegemoni, negara intervensi penuh dalam ekonomi.
Dalam kutub LAISSEZ-FAIRE, negara membiarkan mekanisme dan lembaga-lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dikendalikan oleh swasta. Dan dalam Dirigisme/hegemoni, negara mengendalikan sepenuhnya mekanisme dan lembaga-lembaga itu. Dua kutub “laissez-faire” – “hegemoni“ adalah gambaran yang ideal .
Tidak ada negara yang sepenuhnya bersifat “laissez-faire” ataupun “hegemoni”. Artinya tidak ada negara yang sepenuhnya berlepas tangan, sebaliknya juga tidak ada yang mampu sepenuhnya mengendalikan segala segi kegiatan ekonomi masyarakatnya. Semua negara bersifat campuran. Contoh kasus dalam konteks ini, “Debirokratisasi” berarti proses menjauhi kutub “hegemoni” dan mendekati kutub “laissez-faire”. Secara lebih spesifik kita bisa menunjukkan sifat peran negara itu dengan melihat bekerjanya mekanisme dan lembaga pembuatan dan penerapan keputusan ekonomi dalam negara itu. Lebih jelas lihat tabel di bawah ini.
Tabel 1. Dimensi – dimensi Sistem Ekonomi
NO. Pertanyaan Kutub
Laisser-Faire Dirigisme
1. Siapa pembuatan keputusan investasi, produksi, dan distribusi? Desentralisasi (individu) Sentralisasi (negara)
2. Bagaimana transaksi informasi alokasi sumberdaya dan koord. keputusan dilakukan? Pasar Proses administrasi
3. Siapa berhak memiliki faktor produksi dan menentukan penggunaannya? Pemilikan Pribadi Pemilikan kolektif
4. Bgmn mekanisme memotivasi individu & prshn? Insentif Ekonomi Komando
5. Bagaimana sifat interaksi aktor-2 ekonomi? Kompetitif Non-kompetitif
6. Bagaimana interaksi ekonomi domestik dengan sistem internasional? Internasionalis Nasionalis


B. Analisa Politik Ekonomi Indonesia
Dalam rangka menganalisis kondisi ekonomi politik di Indonesia, kondisinya dibagi dalam 3 periode yaitu periode Orde Lama (1945 – 1966), periode Orde Baru (1966–1998), dan periode Reformasi (1998 – 2007). Analisis per periode sebagai berikut:

1. Periode Orde Lama (1945 – 1966)
Pandangan strukturalis tentang pembangunan berlaku dari tahun 1940-an hingga awal tahun 1960-an. Pandangan ini berasumsi negara – negara sedang berkembang ditandai oleh kelompok budaya, sosial dan kelembagaan yang menghambat atau mencegah perubahan, sumber daya cenderung mandek (persediaan barang dan jasa tidak elastis). Pandangan ini juga mementingkan kuantitas manajemen dibandingkan harga. Umumnya mengalami kegagalan, kadang – kadang target tercapai namun sering pelaksanaannya buruk dan prestasi yang kurang baik. Bank Dunia memberikan pinjaman pertamanya kepada negara di luar Eropa pada tahun 1948. Saat itu banyak negara yang sedang berkembang sudah sibuk dalam beberapa bentuk perencanaan ekonomi terpusat.
Pada tahun 1950-an, gelombang antusiasme mencapai puncaknya dalam rangka perencanaan yang komprehensif. Sedangkan yang terjadi di Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pemimpin yang ada saat itu terdiri dari kaum elit yang berpendidikan Barat dan orang – orang militer yang dilatih Jepang. Secara ekonomi, Belanda masih menguasai perusahaan – perusahaan di sektor perkebunan dan menguasai perdagangan internasional {Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949}. Periode 1945 – 1949 adalah periode Indonesia berjuang untuk status negara merdeka dan diakui oleh dunia yang ditandai dengan pengakuan Belanda di KMB dengan syarat perusahaan Belanda di Indonesia tidak dinasionalisasikan.
Demokrasi Terpimpin (1959–1965), Dekrit Presiden 1959 (yang mendapat dukungan dari militer dan PKI) adalah upaya Soekarno menggeser dominasi politisi kelas menengah ke atas dan sekaligus upaya mengembalikan kekuasaan Presiden yang selama ini dipegang Perdana Menteri dan DPR. Pada masa ini, Soekarno menguasai penuh birokrasi negara. Pada tahun 1957, perusahaan–perusahaan Belanda dinasionalisasikan, setelah tahun 1959, proses nasionalisasi perusahaan asing makin meluas. Pada tahun 1963, perusahaan–perusahaan Inggris juga diambil alih, milik Amerika Serikat juga diambil alih di tahun 1965. Kondisi ekonomi sangat parah dengan ditandai tingginya inflasi yaitu mencapai 732% antara tahun 1964 – 1965 dan masih mencapai 697% antara tahun 1965–1966. Jadi periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya, sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.

2. Periode Orde Baru (1966 – 1998)
Pemerintah didukung kuat Militer dan kemudian mencari dukungan dari kelompok borjuasi (elit politik kelas menengah ke atas). Prioritas yang dilakukan adalah pengendalian inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dukungan dari Barat dan Jepang juga mengalir melalui bantuan/pinjaman. Modal asing mulai masuk sehingga industrialisasi mulai dikerjakan dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) yang pertama dibuat tahun 1968. Pada tahun 1970-an dan awal 1980-an harga minyak bumi melonjak tinggi di pasar dunia sehingga Orde Baru mampu membangun dan mengendalikan inflasi serta membuat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Stabilitas politik dilakukan kaum militer dengan membuat “Golongan Karya” (Golkar) yang tidak berkoalisi dengan partai politik yang ada dan memaksa parpol bergabung hingga hanya ada dua yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia.
Pada tahun 1970-an, negara Orde Baru Rente terbentuk sehingga negara menduduki posisi investor terbesar, disusul pengusaha non pribumi (Cina) dan pengusaha pribumi di posisi ketiga. Perusahaan negara banyak yang merugi namun pengelolanya bertambah kaya. Pengusaha Cina terus berkembang melalui koneksi dengan pejabat tinggi negara. Pengusaha pribumi berkembang melalui fasilitas negara karena hubungan kekeluargaan dengan petinggi negara. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak membuat rakyatnya bebas dari kemiskinan dikarenakan pertumbuhan ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang saja. Dampak negatif kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru antara lain, ketergantungan terhadap Minyak dan Gas Bumi (Migas) dan ketergantungan terhadap Bantuan Luar Negeri.
Akhir 1970-an, proses pembangunan di Indonesia mengalami “non market failure” sehingga banyak kerepotan dalam proses pembangunan, misalnya merebaknya kemiskinan dan meluasnya kesenjangan pendapatan, terutama disebabkan oleh “market failure”.
Mendekati pertengahan 1980-an, terjadi kegagalan pemerintah (lembaga non pasar) dalam menyesuaikan mekanisme kinerjanya terhadap dinamika pasar. Ekonomi Indonesia menghadapi tantangan berat akibat kemerosotan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal 1980-an. Kebijakan pembangunan Indonesia yang diambil dikenal dengan sebutan “structural adjustment” dimana ada 4 jenis kebijakan penyesuaian sebagai berikut :
1. Program stabilisasi jangka pendek atau kebijakan manajemen permintaan dalam bentuk kebijakan fiskal, moneter dan nilai tukar mata uang dengan tujuan menurunkan tingkat permintaan agregat.
2. Kebijakan struktural demi peningkatan output melalui peningkatan efisiensi dan alokasi sumber daya dengan cara mengurangi distorsi akibat pengendalian harga, pajak, subsidi dan berbagai hambatan perdagangan, tarif maupun non tarif.
3. Kebijakan peningkatan kapasitas produktif ekonomi melalui penggalakan tabungan dan investasi.
4. Kebijakan menciptakan lingkungan legal dan institusional yang bisa mendorong agar mekanisme pasar beroperasi efektif termasuk jaminan hak milik dan berbagai tindakan pendukungnya seperti reformasi hukum dan peraturan, aturan main yang menjamin kompetisi bebas dan berbagai program yang memungkinkan lingkungan seperti itu. Pemberlakuan Undang – Undang Hak Cipta dan Hak Milik Intelektual juga merupakan bagian dari berbagai paket di atas (Pangestu, 1989:3-8, dan 1992:196-197; Nelson, 1990:3-5).
Reformasi besar – besaran dalam mekanisme kerja administrasi negara Indonesia seperti yang disebutkan di atas, menimbulkan dampak positif terhadap pertumbuhan sektor industri ekspor dan pertumbuhan ekonomi pada umumnya. Dalam ekonomi mikro terjadi penurunan hambatan masuk ke pasar (entry barrier), pelonggaran kendala terhadap kegiatan sektor bisnis dan swastanisasi terbatas yaitu perpindahan pemilikan BUMN dari pemerintah ke swasta. (Nasution, 1991:14-17)

3. Periode Orde Reformasi (1998 – 2007)
Tahun 1998 adalah tahun terberat bagi pembangunan ekonomi di Indonesia sebagai akibat krisis moneter di ASIA yang dampaknya sangat terasa di Indonesia. Nilai rupiah yang semula 1 US$ senilai Rp. 2.000,- menjadi sekitar Rp. 10.000,- bahkan mencapai Rp. 12.000,- (5 kali lipat penurunan nilai rupiah terhadap dolar). Artinya, nilai Rp. 1.000.000,- sebelum tahun 1998 senilai dengan 500 US$ namun setelah tahun 1998 menjadi hanya 100 US$. Hutang Negara Indonesia yang jatuh tempo saat itu dan harus dibayar dalam bentuk dolar, membengkak menjadi lima kali lipatnya karena uang yang dimiliki berbentuk rupiah dan harus dibayar dalam bentuk dolar Amerika. Ditambah lagi dengan hutang swasta yang kemudian harus dibayar Negara Indonesia sebagai syarat untuk mendapat pinjaman dari International Monetary Fund (IMF). Tercatat hutang Indonesia membengkak menjadi US$ 70,9 milyar (US$20 milyar adalah hutang komersial swasta).
Pembangunan ekonomi periode Orde Reformasi (1998 – 2004) berjalan tak jelas arahnya. Masa tahun 1998 – 2004 adalah masa transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang ditandai dengan silih bergantinya Presiden RI dalam waktu relatif singkat. Dari B.J. Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999), Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001) kemudian Megawati (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004). Pembangunan ekonominya berjalan terseok – terseok, disambut dengan gegap gempita euforia politik rakyat Indonesia yang selama masa Orde Baru dikekang kemudian menjadi bebas lepas di masa Orde Reformasi ini.
Dalam masa ini, Indonesia masih mencari jati dirinya kembali dengan mencoba menerapkan demokrasi yang sesungguhnya yang ternyata sangat mahal biayanya. Praktis, dana pembangunan banyak teralokasikan untuk pembiayaan pesta demokrasi tersebut, mulai dari Pemilihan Presiden (PILPRES, periode 2004 - 2009) langsung oleh rakyat, yang menghasilkan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI, hingga berbagai Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) yang masih berlangsung silih berganti hingga saat ini di berbagai daerah di wilayah nusantara ini.
Kondisi ekonomi Indonesia mulai membaik dan terkendali setelah dua tahun masa pemerintahan SBY. Sedikit demi sedikit dana subsidi MIGAS ditarik oleh pemerintah mulai dari Bensin, Solar kemudian Minyak Tanah yang selama ini membebani pemerintah. Pemerintah cenderung menyerahkan harga barang pada mekanisme pasar. Interaksi ekonomi domestiknya berwawasan internasional dan mengikuti sistem ekonomi internasional. Secara ekonomi memang menunjukkan kondisi membaik, namun rakyat Indonesia masih banyak yang miskin, pengangguran belum bisa diatasi pemerintah, nilai rupiah masih sekitar 9.000-an per 1 US$, kemampuan daya beli masyarakat Indonesia masih rendah, korupsi masih tinggi tercatat Indonesia termasuk dalam peringkat kelima negara terkorup di dunia (TEMPO, 20 Oktober 2004), dan sebagainya.
Secara politis, kondisi Indonesia memasuki periode Orde Reformasi semakin membaik. Demokrasi bisa berjalan baik, seluruh rakyat Indonesia mendapatkan haknya untuk memilih dan dipilih dengan bebas tanpa tekanan dari siapapun serta dijamin keamanannya di masa reformasi ini. Partai politik tumbuh subur, tercatat sebanyak 42 partai politik peserta pemilu tahun 2004, yang kemudian bertambah lagi dari tahun ke tahun. Setiap warga negara bebas berbicara dan menyampaikan pendapatnya baik melalui media massa maupun aksi – aksi demonstrasi dengan dibingkai aturan hukum yang berlaku. Semua itu tidak didapat di rezim Orde Baru. Proses otonomi daerah (desentralisasi kekuasaan) sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sudah dilaksanakan dengan proses pemilihan kepala daerah melalui PILKADA, praktek nepotisme sedikit demi sedikit berkurang sehingga aktor ekonominya berusaha secara kompetitif. Jadi periode Orde Reformasi lebih kuat transaksi informasi alokasi sumber daya diserahkan pada pasar, aktor ekonominya kompetitif (berusaha menghapuskan nepotisme), desentralisasi, internasionalis, melalui insentif ekonomi dan kepemilikan individu dijamin, sehingga bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “ Dirigisme/hegemoni” dan mendekati kutub “ Laissez-Faire”.


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.Periode Orde Lama yang dipimpin Soekarno lebih kuat nasionalismenya, sentralisasi, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.
2.Periode Orde Baru yang dipimpin Soeharto lebih kuat peran pemerintah/proses administrasinya, aktor ekonominya nepotisme/non kompetitif, sentralisasi, nasionalismenya, komando dan kepemilikan kolektif bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “Laissez-Faire” dan mendekati kutub “Dirigisme/hegemoni”.
3.Periode Orde Reformasi lebih kuat transaksi informasi alokasi sumber daya diserahkan pada pasar, aktor ekonominya kompetitif (berusaha menghapuskan nepotisme), desentralisasi, internasionalis, melalui insentif ekonomi dan kepemilikan individu dijamin bisa disimpulkan berarti prosesnya menjauhi kutub “ Dirigisme/hegemoni” dan mendekati kutub “ Laissez-Faire”.
4.Di masa reformasi inilah harapan bergantung, meskipun masih banyak kekurangan demi kekurangan terjadi, namun proses demokrasi sudah berjalan dengan baik. Yang masih menjadi penghambat proses reformasi adalah sisa – sisa kekuatan Orde Baru yang masih memiliki pengaruh baik dalam proses politik maupun dalam bidang ekonomi. Mereka hanya berubah bajunya saja namun gerakan maupun pemikiran – pemikirannya masih sama baik dari kaum borjuis, militer maupun dari kalangan birokrasinya. Salah satu solusi agar proses reformasi di Indonesia berjalan dengan baik adalah mengurangi peran sisa – sisa kekuatan Orde Baru baik di bidang ekonomi maupun politik dengan tidak mengabaikan hak – hak politik mereka. Hal ini bisa terjadi jika Presiden Indonesia atau para Kepala Daerah adalah seorang ”reformis sungguhan” bukan ”reformis gadungan”. Semua pimpinan sekarang dipilih melalui proses demokrasi, artinya alam demokrasi telah dibuka lebar – lebar sehingga pemegang kekuasaan adalah rakyat Indonesia. Mendidik rakyat Indonesia menjadi rakyat yang cerdas berpolitik dan menguasai perekonomian adalah bagian solusi agar proses reformasi berjalan di relnya.

DAFTAR PUSTAKA


Budiman, Arief. 1991. Negara dan Pembangunan, Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan. Indonesia: Yayasan Padi dan Kapas.

Effendi Siregar, Amir. 1991. Arus Pemikiran Ekonomi Politik. Yogyakarta: PT. TIARA WACANA YOGYA.

Mas’oed, Mohtar. 2003. Politik, Birokrasi dan Pembangunan.

Rachbini, Didik J. 2004. Ekonomi Politik, Kebijakan dan Strategi Pembangunan.

Suryono, Agus. 2006. Ekonomi Politik Pembangunan Dalam Perspektif Teori Ilmu Sosial.. Jawa Timur: Universitas Negeri Malang.

TEMPO Interaktif, Rabu, 20 Oktober 2004 | 19:00 WIB. Negara Terkorup Kelima. Jakarta.

Catatan kritis untuk Pilkada Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberhasilan pelaksanaan pilkada bila dilihat dari indikator kuantitatif belum mencerminkan kualitas pelaksanaan pilkada yang sebenarnya. Pelaksanaan pilkada menyimpan akar perselisihan mendasar baik di tingkat kebijakan maupun pada rana kelembagaan. Salah satunya adalah pembentukan Desk Pilkada yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai lembaga tandingan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini sebagai akibat dari besarnya tugas dan wewenang yang dimiliki yang sejenis dengan tugas dan wewenang KPU, seperti pelaksana sosialisasi dan fasilitasi, penanganan perkembangan politik dan Kamtibnas, serta advokasi pilkada. Namun pada sisi lain, keberadaan Desk Pilkada juga dapat dipandang sebagai salah satu usaha pemerintah untuk menegaskan posisinya sebagai fasilitator Pilkada yang juga patut dihargai.
Tahapan dalam pelaksanaan pilkada juga memiliki potensi bagi terjadinya konflik, yang dimulai konflik tertutup (latent conflict) yang masih belum nampak, beranjak menjadi konflik yang mencuat (emerging conflict) yang permasalahan dan pihak-pihak yang berselisih semakin jelas, dan berujung pada konflik terbuka (manifest conflict), dimana pihak-pihak yang berselisih mulai aktif.
Konflik Pilkada bermuara pada tiga titik. Pertama, konflik struktural, yang terjadi sebagai akibat ketimpangan dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya pilkada. Kedua, konflik kepentingan, yang terjadi sebagai akibat dari terjadinya persaingan kepentingan yang bertentangan dengan masalah psikologis. Ketiga, konflik hubungan, yang terjadi sebagai akibat adanya kesalahan persepsi atau salah komunikasi akibat terbatasnya sumber daya dalam mencapai tujuan bersama.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka perumusan masalah yang dapat diangkat dalam makalah ini adalah :
1). Apa yang melatar belakangi Pilkada langsung di Indonesia?
2). Bagaimana pelaksanaan Pilkada langsung di Indonesia?
3). Hal apa saja yang menjadikan Pilkada langsung di Indonesia menjadi lemah?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjawab semua rumusan masalah yang di angkat.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Pilkada langsung
Draft revisi UU No.22/99 tentang Pemerintahan Daerah yang telah selesai disusun Depdagri memuat satu klausul perubahan pemilihan kepala daerah (pilkada), dari dipilih oleh DPRD menjadi dipilih langsung oleh rakyat sendiri. Seperti yang sering dikemukakan, bentuk pemilihan baru ini dinilai sebagai kerangka sistem (system framework) yang handal (reliable) untuk mempromosi partisipasi publik, lejitimasi politik, akuntabilitas pemerintahan, check-and-balances antara DPRD dan eksekutif daerah di satu sisi, sekaligus mendemosi trend oligharki partai, politisasi, dan money politics dalam pilkada pada sisi lainnya.
Selain itu, opsi ini juga dimungkinkan oleh konstitusi (pasal 18 ayat 4 UUD 1945 tentang pilkada “secara demokratis”) dan Undang Undang (UU Susduk MPR, DPD, DPR/D yang tidak lagi mengatur kewenangan pilkada oleh DPRD). Berbagai landasan yuridis ini tentu masih perlu dilengkapi dan dieksplisitkan lagi, entah lewat revisi UU Pemerintahan Daerah atau pun berupa suatu UU tersendiri (UU tentang Tata Cara Pilkada secara Langsung).
Setelah sembilan tahun usia desentralisasi, sudahkah kita mampu mengembangkan dan mengelolanya dengan baik? Dalam hal ini, ternyata kita dihadang begitu banyak permasalahan. Empat pemerintahan silih berganti, pelaksanaan desentralisasi dengan menggunakan payung UU nomor 22 tahun 1999, UU nomor 25 tahun 1999 dan UU nomor 32 tahun 2004 belum mampu menemukan format yang benar-benar tepat diterima dan dipatuhi oleh semua pihak. Sebenarnya kita tidak perlu berkecil hati, sebab perubahan format kenegaraan yang telah berumur lebih setengah abad ke satu format baru memang tidak semudah membalik telapak tangan.
Secara filosofis permasalahan mengenai sumber kekuasaan (the origin of power) harus diselesaikan terlebih dahulu, karena ini merupakan ruh dari sistem penyelenggaraan pemerintahan. Sumber kekuasaan dalam konsep Negara Kesatuan sangat berbeda dengan negara yang menganut paham federal. Pada Negara Kesatuan, sumber kekuasaan ada di pusat yang selanjutnya mendelegasikan kekuasaan kepada daerah dengan tetap memberikan suatu penguatan bahwa pemilik yang sejati dari sumber kekuasaan tetaplah di pusat. Sedangkan pada negara federal, sumber kekuasaan adalah daerah atau Negara Bagian, dengan koordinasi yang longgar oleh pusat dalam aspek-aspek hubungan luar negeri, fiskal dan keamanan nasional. Indonesia, saat ini menganut paham Negara Kesatuan di mana sumber kekuasaan berada di pusat namun dengan konsep desentralisasi, sejatinya juga memberi pengakuan adanya sumber kekuasaan di daerah. Di sini harus ada batasan yang jelas agar para pelaku otonomi tidak kebablasan.

B. Masalah-masalah dalam pilkada
Pola budaya kita yang masih cenderung paternalistis dan feodalistis ditambah dengan kualitas pendidikan masyarakat yang masih tergolong rendah merupakan kendala yang cukup serius bagi percepatan pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan politik dan menempatkan para pemimpin formal di pusat dan daerah menjadi faktor dominan dalam proses otonomi desentralisasi.
Dalam konteks ini, pilkada sulit berlangsung selangsung-langsungnya. Calon Kepala Daerah yang akan dipilih rakyat boleh jadi bukanlah orang yang berasal dari bawah, di mana kemunculannya hanya mungkin melalui pencalonan oleh partai di daerah (dan terutama oleh partai lokal), tapi merupakan titipan elite pusat partai sebagai yang banyak terjadi dalam fenomena pilkada saat ini. Dengan demikian, pemilihan langsung oleh rakyat menjadi tak sepenuhnya bermakna, karena mereka memilih orang yang tidak diproses melalui kelembagaan arus bawah partai.
Masalah muncul tatkala kita disuguhi realitas menurunnya kualitas kepemimpinan di semua tingkatan akibat sistem rekrutmen dan sistem pemilihan yang belum mengarah kepada adu kualitas, baik yang menyangkut integritas, kompetensi dan akseptabilitas.
Dalam tatanan masyarakat yang masih berpola budaya paternalistis dan feodalistis, dominannya faktor kepemimpinan harus disadari oleh setiap pemimpin dan menjadi keyakinannya bahwa di tangan merekalah sebenarnya sukses atau gagalnya pelaksanaan otonomi daerah dalam kehidupan masyarakat kita. Oleh karenanya, peranan Pilkada menjadi sangat menentukan.
Seperti diketahui, setelah hampir tiga tahun bangsa ini menggelar Pilkada langsung, bermacam persoalan klasik terus mewarnai perjalanan demokrasi di Indonesia. Politik uang, ketidaktaatan pada peraturan, subordinasi lembaga yang ditunjuk, amuk massa bila kalah, hingga black campaign seperti menempatkan Pilkada pada ranah formal semata. Sebab, senyatanya tak semua orang belum memahami bagaimana berdemokrasi, apalagi menjalankannya. Bagi beberapa pihak, yang penting mereka berkuasa, meski dengan bermacam cara agar mendapatkan dukungan mayoritas.
Selama tahun 2005-2010 telah berlangsung Pilkada langsung di 323 daerah, sementara yang bermasalah terjadi di 105 daerah atau 30 persen dari total daerah yang melangsungkan Pilkada. (Kompas, 18 Februari 2008) Pada tataran yang mendasar, terjadi pembilahan sikap para elite bangsa dalam merespons dinamika pemilihan langsung kepala daerah. Sebagian setuju agar Pilkada diteruskan seperti apa adanya, bisa jadi untuk kepentingan pribadi serta keuntungan finansial. Namun sebaliknya, ada yang menolak atau menuntut pembaruan. Pada kelompok ini, sebagian dilatarbelakangi oleh keprihatinan akan kecenderungan atas kondisi yang berkembang, sebagian lagi menghendaki agar aturan yang ada ditingkatkan kualitasnya, bahkan ada pula yang berpandangan untuk kembali kepada aturan lama.
Belum lagi, akhir-akhir ini juga muncul sajian alternatif untuk memunculkan calon independen.. Kepercayaan kepada Parpol sudah semakin menurun, sementara para wakil rakyat sibuk dengan urusannya masing-masing.
Kesemuanya itu tentunya sah-sah saja, mengandung kebenaran relatif dari subjektivitasnya masing masing. Mudah-mudahan perbedaan pandangan dalam menyikapi Pilkada merupakan dinamika perjuangan bersama untuk menyelamatkan masa depan bangsa dan semata-mata dimaksudkan demi mendekatkan bangsa ini kepada kesejahteraan rakyat. Bukan lagi merupakan sikap yang isinya sebatas memenuhi ambisi perorangan atau kelompok.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Persoalan Pilkada tak dapat dilepaskan dari bagian konsolidasi demokrasi. Demokrasi memang pekerjaan berat yang tidak serta-merta terwujud seperti yang diinginkan, segampang kita membalikkan telapak tangan. Artinya, meski terdapat carut-marut pelaksanaan Pilkada yang hingga kini masih berlarut-larut, niatan baik untuk terus memperbaiki proses demokrasi di republik ini adalah pilihan bijak yang akan terus kita dukung.
Pada realitasnya, saat ini kita masih terkendala dalam mencapai konsolidasi demokrasi, karena ketiga variabel utama yang merupakan prasyarat demokrasi belum kita miliki. Itulah pekerjaan rumah yang harus ditangani oleh bangsa kita.
Secara teoretis, berbagai literatur mengenai konsolidasi demokrasi, mengaitkannya dengan tiga variabel utama yang perlu diperhatikan. Variabel pertama adalah perbaikan kondisi ekonomi. Variabel kedua, terciptanya kultur politik yang demokratis. Dengan kata lain, ada suatu pembelajaran dan pendewasaan politik yang berjalan efektif di mana masyarakat dan semua elemen demokrasi makin mampu untuk mengaktualisasikan demokrasi substansial ke praktik-praktik demokrasi prosedural secara optimal. Variabel ketiga adalah adanya penguatan konsensus politik di kalangan elite. Kuat atau tingginya tingkat konsensus di satu sisi dan rendahnya tingkat konflik politik di kalangan elite di sisi lain memiliki pengaruh positif bagi stabilitas politik yang demokratis.
B. Saran
Persoalan Pilkada ini, secara sederhana dapat dicari penyebabnya, yakni apakah sistemnya yang salah atau manusianya; atau bisa jadi kedua-duanya. Hal ini menjadi penting agar kita tidak terjebak dengan pemikiran sempit yang terlalu cepat menyalahkan dan mengganti sistem demi kepentingan individu atau kelompok.
Saran Pertama, menyangkut penyelenggaraannya maupun kualitas pejabat terpilih dalam pilkada, sosialisasi dan mekanisme Pilkada yang harus lebih baik, Panwas Pemilu yang kredibel, KPUD yang independen, dan sederet penyempurnaan teknis Pilkada harus tetap dilakukan. Kedua, kita bedah orang atau pelaksana Pilkada maka akan kita jumpai segudang kelemahan dan penyimpangan, politik uang, jual beli kendaraan politik, black campaign, pergerakan massa brutal, dsb. Kedewasaan perilaku politik semestinya terus dikembangkan, ketidaksiapan kontestan untuk menerima kekalahan dan menimbulkan kebrutalan massa harus diminimalisasi bahkan ditiadakan, serta berkomitmen pada aturan main.


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin dan A. Zaini Bisri. 2009. Pilkada Langsung Problem dan Prospek Sketsa Singkat Perjalanan Pilkada 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Asfar, Muhammad. 2009. ’Sistem Pilkada Langsung: Beberapa Problem, Implikasi Politik dan Solusinya.’ Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1.

Fitriyah. 2009. ‘Sistem dan Proses Pilkada Langsung.’ Analisis CSIS, Vol. 34, No.3.

Harris, Syamsuddin. 2009. ’Pilkada Langsung dan Masa Depan Otonomi Daerah.’ Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1.

Isra, Saldi. 2009. ’Pilkada Langsung: Catatan Kritis atas Beberapa Isu Krusial dalam UU No. 32 Tahun 2004.’ Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1.