MyMetaTag

google-site-verification: google3729451bda6c8dcd.html

Saturday, May 8, 2010

ANALISIS KRISIS EKONOMI POLITIK NEGARA THAILAND

BAB I
LATAR BELAKANG

Krisis saat ini bermula di bulan September 2006, ketika militer melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Thaksin Shinawatra, menghapus Konstitusi populis tahun 1997 dan menggantikannya dengan konsttusi yang dibuat oleh militer. Kaum royalis Yellow Shirts mulai mengorganisir demonstrasi yang berwatak fasis ketika partai pro-Thaksin memenangkan pemilihan umum 2007. Pemerintahan Ahbisit sekarang ini dibentuk oleh militer setelah mobilisasi fasis oleh Kaos Kuning dan satu kudeta melalui pengadilan.
Pemerintah, militer dan Yellow Shirts ketakutan menghadapi pemilihan umum yang benar-benar demokratis, karena mereka sadar bahwa mereka akan kalah karena mayoritas kaum miskin mendukung Kaos Merah. Ahbisit dan elit penguasa menolak untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum dan mencoba mengulur waktu dan bahkan menyiapkan tindakan represif. Sudah jelas bahwa Ahbisit dan kaum elit lama akan membawa negeri tersebut menuju kediktatoran fasis.
Thailand telah memasuki satu tahap perang kelas yang baru. Kaum elite penguasa lama dengan dukungan militer telah mempergunakan segala cara untuk melindas demokrasi di Thailand. Kaus Merah pro-demokrasi mayoritas terdiri dari kelas pekerja, petani dan kaum miskin, telah menunjukan dukungan rakyat dan memobilasi kekuatannya yang benar-benar telah mengejutkan kaum royalis (pendukung kerajaan) dan militer.
Dengan semakin meluasnya dukungan massa terhadap Kaos Merah, akan menjadi satu tahap baru dan menentukan dalam perjuangan rakyat di Thailand untuk mengembalikan demokrasi dan keadilan sosial.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Bentuk Negara Thailand
Kerajaan Thailand (nama resmi: Ratcha Anachak Thai; juga Prathet Thai), kadangkala juga disebut Mueang Taek, adalah sebuah negara di Asia Tenggara yang berbatasan dengan Laos dan Kamboja di timur, Malaysia dan Teluk Siam di selatan, dan Myanmar dan Laut Andaman di barat. Thailand dahulu dikenal sebagai Siam sampai tanggal 11 Mei 1949. Kata "Thai" berarti "kebebasan" dalam bahasa Thailand, namun juga dapat merujuk kepada suku Taek, sehingga menyebabkan nama Siam masih digunakan di kalangan orang Thai terutama kaum minoritas Tionghoa.
Negeri seluas 510.000 kilometer ini kira-kira seukuran dengan Perancis., Thailand berbatasan dengan Myanmar, di timur laut dengan Laos, di timur dengan Kamboja, sedangkan di selatan dengan Malaysia. Secara geografis, Thailand terbagi enam: perbukitan di utara di mana gajah-gajah bekerja di hutan dan udara musim dinginnya cukup baik untuk tanaman seperti strawberry dan peach; plateau luas di timur laut berbatasan dengan Sungai Mekong; dataran tengah yang sangat subur; daerah pantai di timur dengan resor-resor musim panas di atas hamparan pasir putih; pegunungan dan lembah di barat; serta daerah selatan yang cantik.

B.Sejarah Negara Thailand
Kebudayaan Masa Perunggu diduga dimulai sejak 5600 tahun yang lalu di Thailand (Siam). Kemudian, datang berbagai imigran antara lain suku bangsa Mon, Khmer dan Thai. Salah satu kerajaan besar yang berpusat di Palembang, Sriwijaya, pernah berkuasa sampai ke negeri ini, dan banyak peninggalannya yang masih ada di Thailand. Bahkan, seni kerajinan di Palembang dengan Thailand banyak yang mirip.
Di awal tahun 1200, bangsa Thai mendirikan kerajaan kecil di Lanna, Phayao dan Sukhotai. Pada 1238, berdirilah kerajaan Thai yang merdeka penuh di Sukhothai ('Fajar Kebahagiaan'). Di tahun 1300, Sukhothai dikuasai oleh kerajaan Ayutthaya, sampai akhirnya direbut oleh Burma di tahun 1767. Jatuhnya Ayutthaya merupakan pukulan besar bagi bangsa Thai, namun tak lama kemudian Raja Taksin berhasil mengusir Burma dan mendirikan ibukotanya di Thon Buri. Di tahun 1782 Raja pertama dari Dinasti Chakri yang berkuasa sampai hari ini mendirikan ibukota baru di Bangkok.
Raja Mongkut (Rama IV) dan putranya, Raja Chulalongkorn (Rama V), sangat dihormati karena berhasil menyelamatkan Thailand dari penjajahan barat. Saat ini, Thailand merupakan negara monarki konstitusional, dan kini dipimpin oleh YM Raja Bhumibol Adulyadej.

C. Sistem Politik Thailand
Sang raja mempunyai sedikit kekuasaan langsung di bawah konstitusi namun merupakan pelindung Buddhisme Thailand dan lambang jati diri dan persatuan bangsa. Raja yang memerintah saat ini dihormati dengan besar dan dianggap sebagai pemimpin dari segi moral, suatu hal yang telah dimanfaatkan pada beberapa kesempatan untuk menyelesaikan krisis politik. Kepala negara adalah Perdana Menteri, yang dilantik sang raja dari anggota-anggota parlemen dan biasanya adalah pemimpin partai mayoritas.
Parlemen Thailand yang menggunakan sistem dua kamar dinamakan Majelis Nasional atau Rathasapha - รัฐสภา, yang terdiri dari Dewan Perwakilan (Sapha Phuthaen Ratsadon - สภาผู้แทนราษฎร) yang beranggotakan 480 orang dan Senat (Wuthisapha - วุฒิสภา) yang beranggotakan 150 orang. Anggota Dewan Perwakilan menjalani masa bakti selama empat tahun, sementara para senator menjalani masa bakti selama enam tahun. Badan kehakiman tertinggi adalah Mahkamah Agung (Sandika - ศาลฎีกา), yang jaksanya dilantik oleh raja. Thailand juga adalah anggota aktif dalam ASEAN.

BAB III
ANALISIS MASALAH

A. Latar Belakang Krisis Thailand
Thailand adalah sebuah Negara yang unik, yang ekonomi dan politiknya dapat terus melanjutkan tradisinya serta menjadi salah satu Negara di kawasan ini yang tidak pernah di jajah oleh Negara lain. Yang sering di catat adalah adanya kerjasama harmonis antara kerajaan dengan pemegang otoritas “kekuasaan”. Belakangan kita mengetahui, bahwa dibalik keberhasilan negeri ini, adalah adanya kerjasama yang saling mendukung antara kerajaan dan pihak militer. Boleh dikatakan, berapa kalipun militer merebut kekuasaan, sepertinya” kerajaan” terus saja “merestuinya”; tetapi berbeda sekali ketika militer, mengkudeta pemerintahan Thaksin pada tahun 2006, meski Raja “memberikan restunya”, tetapi rakyat ternyata mempunyai pertimbangan yang berbeda. Di satu sisi, mereka tetap menyangi sang Raja, tetapi di sisi lain, mereka memilih partai, yang justeru jadi lawan Rajanya.
Krisis saat ini bermula di bulan September 2006, ketika militer melancarkan kudeta terhadap pemerintahan Thaksin Shinawatra, menghapus Konstitusi populis tahun 1997 dan menggantikannya dengan konsttusi yang dibuat oleh militer. Kaum royalis Yellow Shirts mulai mengorganisir demonstrasi yang berwatak fasis ketika partai pro-Thaksin memenangkan pemilihan umum 2007. Pemerintahan Ahbisit sekarang ini dibentuk oleh militer setelah mobilisasi fasis oleh Kaus Kuning dan satu kudeta melalui pengadilan.
Pemerintah, militer dan Yellow Shirts ketakutan menghadapi pemilihan umum yang benar-benar demokratis, karena mereka sadar bahwa mereka akan kalah karena mayoritas kaum miskin mendukung Kaus Merah. Ahbisit dan elit penguasa menolak untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum dan mencoba mengulur waktu dan bahkan menyiapkan tindakan represif. Sudah jelas bahwa Ahbisit dan kaum elit lama akan membawa negeri tersebut menuju kediktatoran fasis.
Thailand telah memasuki satu tahap perang kelas yang baru. Kaum elite penguasa lama dengan dukungan militer telah mempergunakan segala cara untuk melindas demokrasi di Thailand. Kaus Merah pro-demokrasi mayoritas terdiri dari kelas pekerja, petani dan kaum miskin, telah menunjukan dukungan rakyat dan memobilasi kekuatannya yang benar-benar telah mengejutkan kaum royalis (pendukung kerajaan) dan militer.
Dengan semakin meluasnya dukungan massa terhadap Kaos Merah, akan menjadi satu tahap baru dan menentukan dalam perjuangan rakyat di Thailand untuk mengembalikan demokrasi dan keadilan sosial.
Dari catatan yang bisa saya kumpulkan dari Kompas dan Media Indonesia, kita melihat di awal tahun 2008, Militer Thailand mengakui bahwa kudeta yang mereka lakukan terhadap PM Thaksin Shinawatra, september 2006 telah gagal. Kudeta tersebut tidak sanggup menghapus pengaruh Thaksin. Pernyataan tsb dinyatakan oleh Kepala Angkatan Udara Thailand Chalit Pukbhasuk. Bahkan kekuatan Thaksin malah bangkit. Boleh dikatakan, kabinet Samak didominasi oleh sekutu-sekutu Thaksin. Chalit juga mengumumkan bahwa Dewan Keamanan Nasional (CNS), yang dibentuk militer pasca kudeta untuk menjalankan kekuasaan, secara resmi dibubarkan. Pernyataan itu juga sekaligus memintakan permohonan maaf kepada rakyat, karena tidak berhasil, CNS memang tidak mencoba merebut kekuasaan; menurut mereka, militer telah berbuat yang terbaik untuk negeri itu; atas nama CNS saya memintak maaf katanya.
Ketika KPU Thailand 23 Desember 2007, mengumumkan, Partai Kekuatan Rakyat (PPP, pendukung Thaksin) meraih 233, dari 480 kursi Majelis Rendah. Atau hanya kurang 8 kursi agar jadi posisi mayoritas. Sementara Partai Demokrat (Partai Militer yang didukung oleh Raja Bhumibol) hanya memperoleh 165 kursi. Lainnya partai Chart Thai 40, dan Puea Pandin 24 kursi. Setelah membentuk koalisi, ppp dan sekutunya menguasai 315 kursi di parlemen; 28 Januari 2008 Samak Sundaravej terpilih sebagai PM Thailand dengan merebut 310 suara parlemen; tanggal 29 Januari 2008 Samak resmi jadi PM Thailand setelah direstui oleh Raja.
Bagaimana mungkin, rakyat yang mengelu-elukan Raja pada ulang tahunnya yang ke-80, pada 5 Desember 2007, ternyata dalam pemilu justeru memberikan suaranya kepada PPP, yang juga adalah pendukung Thaksin Shinawatra, mantan PM tersingkir. Sulit dibayangkan bagaimana sebuah negeri yang begitu menyayangi Rajanya, tetapi ketika dilakukan pemilu, malah justeru memilih partai yang berseberangan dengan sang Raja. Adakah nilai-nilai keadilan, yang semestinya harus di junjung tinggi serta di hormati oleh semua pihak, tetapi lalu diabaikan dan dihinakan? Mungkin ada baiknya kita melihat kejadian yang ada di Thailand, sebagai cermin yang patut untuk jadi bahan renungan, bahwa keadilan, harus tetap jadi pertimbangan, entah bagaimanapun keadaannya.

B. Dampak Krisis Politik Thailand dan Ekonomi ASEAN
Akibat kerusuhan aksi masa anti pemerintah di Pattaya Thailand, mengakibatkan pelaksanaan KTT ASEAN+3 yang sedianya dilaksanakan tanggal 11-12 April 2009 ditunda. Konsekuensinya, pembahasan mengenai langkah ASEAN untuk mengatasi dampak krisis global pun tertunda. Padahal dalam forum ini juga direncanakan pembahasan tentang Chiangmai Inititiative yang sangat dibutuhkan sebagai jalan keluar bersama ASEAN yang melibatkan Korea Selatan, Jepang, dan China dari krisis keuangan global.
Sementara akibat dampak krisis politik di dalam negeri dan krisis global, pemerintah Thailand telah memproyeksi penurunan PDB pada 2009 sebesar 5% yang merupakan lebih rendah 3% dibandingkan prediksi sebelumnya. Menteri Keuangan Thailand Korn Chatikavanij mengungkapkan kinerja perekonomian negerinya diprediksi mengkerut -2,5% pada 2009. Volume angka perdagangan ekspor untuk produk dan jasa diestimasikan menurun -25,2% per tahun pada 2008. secara partikular investasi swasta diproyeksikan menurun 6,1% per tahun, seiring dengan para investor menunda untuk menanamkan investasi di Thailand akibat krisis politik yang belum kunjung mereda.
Pemerintah Thailand juga merevisi data final angka kunjungan wisatawan pada 2008 ke negara itu. Padahal sektor pariwisata salah satu penopang utama perekonomian negara itu. Angka kunjungan wisatawan pada 2008 diproyeksikan 14,3 juta kunjungan yang berarti sama dengan realisasi angka kunjungan pada 2007. Sebelumnya angka kunjungan wisatawan pada 2008 diperkirakan meningkat dibandingkan pada 2007. Meskipun angka ini diprediksi membaik pada kwartal I 2009, namun akan tetap menurun jika dibandingkan kwartal I 2008. Pemerintah Negeri Gajah Putih itu memproyeksi angka kunjungan wisatawan pada 2009 tidak kurang dari 14 juta kunjugan, sedikit menurun dibandingkan 2007 dan 2008. Namun ini masih tergantung pada situasi lokal dalam negeri, maupun regional dan global.
Berdasarkan proyeksi ADB pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN diprediksi menurun pada 2009 hanya sebesar 0,7% dan 2010 sebesar 4,2%. Diantaranya, penurunan terenda dialami Singapura -5% (2009) dan 3,5% (2010). Kemudian diikuti Thailand kinerja ekonominya -2% (2009) dan 3,0% (2010). Malaysia -0,2% (2009) dan 4,4% (2010), Brunei Darussalam -0,4% (2009) dan 2,3% (2010). Kamboja dan Filipina diproyeksi tumbuh 2,5% pada 2009, namun pada 2010 Filipina (3,5%), dan Kamboja (4,0%). Indonesia diprediksi tumbuh 3,6% (2009) dan 5,0% (2010), Vietnam 4,5% (2009) dan 6,5% (2010), serta Laos 5,5% (2009) dan 5,7% (2010).

C. Berkaca Pada Kaos Merah Thailand
Hari-hari belakangan ini kita melihat Thailand, sibuk dan dilanda upaya pembangkangan Sipil, yang dimotori oleh kelompok kaos merah, para pendukung mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang hingga kini masih menjadi pusat konflik di negara itu. Apa sesungguhnya yang mereka tuntut? Adalah sebuah keadilan; keadilan yang ternyata “sangat sulit” untuk di pahami. Menurut ketua kelompok kaos merah; ”Apa yang terjadi di masa lalu tidak adil, mereka menyebutnya standar ganda. Kami ingin mengoreksinya, tak hanya untuk Thaksin, tetapi semua orang,” begitu kata Jatuporn, pimpinan Kaos Merah .
Kalau kita baca secara sederhana, sesungguhnya yang terjadi adalah adanya penolakan terhadap keterlibatan militer di ranah demokrasi. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh seorang Thaksin, yang nota bene juga masih dari kalangan pendidikan militer. Bahwa suatu masa dahulu, militer sangat kompeten dan mampu dengan baik mengelola negeri itu, ya. Tetapi zaman sudah berubah, rakyat membutuhkan sesuatu yang lain, hanya saja pihak militer, masih tetap dalam persfektip lama; dan mereka percaya, rakyat masih sangat mendambakannya.
Bedanya dengan di negeri kita, TNI sepenuhnya menyadari bahwa zaman sudah berubah, dan telah mengambil posisi sesuai kehendak demokrasi. Dalam demokrasi yang ada adalah suara rakyat, bukan kekuatan lain. Dalam sistem demokrasi, suara rakyat tidak bisa dikangkangi dan kalau mau mengikuti kehendak zaman, ya harus ikut berdemokrasi dan memperbaiki demokrasi itu sendiri; dengan cara menjadi sesuatu yang professional sesuai panggilan tugasnya. Kita percaya, Thailand pasti bisa melewatinya, sebab Negara itu mempunyai trek record yang tidak bisa diragukan. Persoalannya, akankah cara-cara demokrasi yang akan mengemuka? Sebab dalam batasan operasi militer selain perang secara universal , aktivitas radikal seperti yang diperlihatkan oleh kelompok kaus merah, sudah sah dihadapi dengan kekuatan militer. Hanya saja, kalau itu yang dipakai, maka kaus merah pasti akan mendapatkan legitimasi baru dan keluar sebagai pemenang. Pertarungan sebuah demokrasi.


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Situasi yang kini terjadi di Thailand, dimana Perdana Menteri yang didukung militer, Ahbisit Vejjajiva telah menyatakan Negara dalam keadaan darurat dan memulai tindakan represi berdarah dalam menghadapi meningkatnya eskalasi protes menuntut pemilihan umum ulang yang bersih.
Keadaan semakin mengkuatirkan karena pemerintah Thailand telah menutup semua media oposisi dan memberikan kekuasaan kepada angkatan bersenjata untuk melakukan tindakan represif terhadap demonstran Red Shirts. Pasukan bersenjata Thai telah mempergunakan persenjataan yang berlebihan termasuk tank dan peluru tajam, dalam menghadapi para demonstran pro demokrasi di Bangkok.
Sejak bulan Maret lalu, Front Persatuan untuk Demokrasi melawan Kediktatoran (UDD) atau lebih dikenal dengan Red Shirts telah kembali melakukan demonstrasi besar-besaran melawan pemerintahan Ahbisit yang bukan hasil dari pemilihan umum namun bentukan militer. Gerakan demokrasi ini terdiri dari kaum miskin kota dan pedesaan yang bersikap menentang terhadap kekuasaan oligarki dukungan militer.

B. Saran-Saran
•Pengunduran segera pemerintahan bentukan militer, Ahsbisit dan lakukan pemilihan umum yang bersih dan demokratis.
•Hentikan segala bentuk tindakan represif terhadap demonstran Red Shirts. Hormati hak-hak rakyat untuk berorganisasi, berdemonstrasi dan mogok.
•Hentikan pengekangan terhadap hak-hak demokratik dan pemberangusan media.
•Kepada pemerintah Thailand untuk tidak melakukan kudeta militer.
Krisis yang terjadi di Thailand saat ini hanya dapat diselesaikan melalui demokrasi yang sejati dan kekuasaan rakyat. Kami sampaikan dukungan solidaritas kami kepada semua buruh, petani dan kaum miskin di Thailand yang sedang berjuang melawan pemerintahan anti demokrasi dan untuk memulihkan demokrasi yang sesungguhnya.



DAFTAR PUSTAKA

Kompas, 2010. Thaksin, Militer, dan Melemahnya Dukungan bagi Abhisit. 30 Maret 2010.

0 komentar:

Post a Comment

Tinggalkan Koment Anda