MyMetaTag

google-site-verification: google3729451bda6c8dcd.html

Saturday, May 8, 2010

Catatan kritis untuk Pilkada Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberhasilan pelaksanaan pilkada bila dilihat dari indikator kuantitatif belum mencerminkan kualitas pelaksanaan pilkada yang sebenarnya. Pelaksanaan pilkada menyimpan akar perselisihan mendasar baik di tingkat kebijakan maupun pada rana kelembagaan. Salah satunya adalah pembentukan Desk Pilkada yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai lembaga tandingan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini sebagai akibat dari besarnya tugas dan wewenang yang dimiliki yang sejenis dengan tugas dan wewenang KPU, seperti pelaksana sosialisasi dan fasilitasi, penanganan perkembangan politik dan Kamtibnas, serta advokasi pilkada. Namun pada sisi lain, keberadaan Desk Pilkada juga dapat dipandang sebagai salah satu usaha pemerintah untuk menegaskan posisinya sebagai fasilitator Pilkada yang juga patut dihargai.
Tahapan dalam pelaksanaan pilkada juga memiliki potensi bagi terjadinya konflik, yang dimulai konflik tertutup (latent conflict) yang masih belum nampak, beranjak menjadi konflik yang mencuat (emerging conflict) yang permasalahan dan pihak-pihak yang berselisih semakin jelas, dan berujung pada konflik terbuka (manifest conflict), dimana pihak-pihak yang berselisih mulai aktif.
Konflik Pilkada bermuara pada tiga titik. Pertama, konflik struktural, yang terjadi sebagai akibat ketimpangan dalam akses dan kontrol terhadap sumber daya pilkada. Kedua, konflik kepentingan, yang terjadi sebagai akibat dari terjadinya persaingan kepentingan yang bertentangan dengan masalah psikologis. Ketiga, konflik hubungan, yang terjadi sebagai akibat adanya kesalahan persepsi atau salah komunikasi akibat terbatasnya sumber daya dalam mencapai tujuan bersama.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka perumusan masalah yang dapat diangkat dalam makalah ini adalah :
1). Apa yang melatar belakangi Pilkada langsung di Indonesia?
2). Bagaimana pelaksanaan Pilkada langsung di Indonesia?
3). Hal apa saja yang menjadikan Pilkada langsung di Indonesia menjadi lemah?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjawab semua rumusan masalah yang di angkat.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Pilkada langsung
Draft revisi UU No.22/99 tentang Pemerintahan Daerah yang telah selesai disusun Depdagri memuat satu klausul perubahan pemilihan kepala daerah (pilkada), dari dipilih oleh DPRD menjadi dipilih langsung oleh rakyat sendiri. Seperti yang sering dikemukakan, bentuk pemilihan baru ini dinilai sebagai kerangka sistem (system framework) yang handal (reliable) untuk mempromosi partisipasi publik, lejitimasi politik, akuntabilitas pemerintahan, check-and-balances antara DPRD dan eksekutif daerah di satu sisi, sekaligus mendemosi trend oligharki partai, politisasi, dan money politics dalam pilkada pada sisi lainnya.
Selain itu, opsi ini juga dimungkinkan oleh konstitusi (pasal 18 ayat 4 UUD 1945 tentang pilkada “secara demokratis”) dan Undang Undang (UU Susduk MPR, DPD, DPR/D yang tidak lagi mengatur kewenangan pilkada oleh DPRD). Berbagai landasan yuridis ini tentu masih perlu dilengkapi dan dieksplisitkan lagi, entah lewat revisi UU Pemerintahan Daerah atau pun berupa suatu UU tersendiri (UU tentang Tata Cara Pilkada secara Langsung).
Setelah sembilan tahun usia desentralisasi, sudahkah kita mampu mengembangkan dan mengelolanya dengan baik? Dalam hal ini, ternyata kita dihadang begitu banyak permasalahan. Empat pemerintahan silih berganti, pelaksanaan desentralisasi dengan menggunakan payung UU nomor 22 tahun 1999, UU nomor 25 tahun 1999 dan UU nomor 32 tahun 2004 belum mampu menemukan format yang benar-benar tepat diterima dan dipatuhi oleh semua pihak. Sebenarnya kita tidak perlu berkecil hati, sebab perubahan format kenegaraan yang telah berumur lebih setengah abad ke satu format baru memang tidak semudah membalik telapak tangan.
Secara filosofis permasalahan mengenai sumber kekuasaan (the origin of power) harus diselesaikan terlebih dahulu, karena ini merupakan ruh dari sistem penyelenggaraan pemerintahan. Sumber kekuasaan dalam konsep Negara Kesatuan sangat berbeda dengan negara yang menganut paham federal. Pada Negara Kesatuan, sumber kekuasaan ada di pusat yang selanjutnya mendelegasikan kekuasaan kepada daerah dengan tetap memberikan suatu penguatan bahwa pemilik yang sejati dari sumber kekuasaan tetaplah di pusat. Sedangkan pada negara federal, sumber kekuasaan adalah daerah atau Negara Bagian, dengan koordinasi yang longgar oleh pusat dalam aspek-aspek hubungan luar negeri, fiskal dan keamanan nasional. Indonesia, saat ini menganut paham Negara Kesatuan di mana sumber kekuasaan berada di pusat namun dengan konsep desentralisasi, sejatinya juga memberi pengakuan adanya sumber kekuasaan di daerah. Di sini harus ada batasan yang jelas agar para pelaku otonomi tidak kebablasan.

B. Masalah-masalah dalam pilkada
Pola budaya kita yang masih cenderung paternalistis dan feodalistis ditambah dengan kualitas pendidikan masyarakat yang masih tergolong rendah merupakan kendala yang cukup serius bagi percepatan pembangunan di bidang ekonomi, sosial dan politik dan menempatkan para pemimpin formal di pusat dan daerah menjadi faktor dominan dalam proses otonomi desentralisasi.
Dalam konteks ini, pilkada sulit berlangsung selangsung-langsungnya. Calon Kepala Daerah yang akan dipilih rakyat boleh jadi bukanlah orang yang berasal dari bawah, di mana kemunculannya hanya mungkin melalui pencalonan oleh partai di daerah (dan terutama oleh partai lokal), tapi merupakan titipan elite pusat partai sebagai yang banyak terjadi dalam fenomena pilkada saat ini. Dengan demikian, pemilihan langsung oleh rakyat menjadi tak sepenuhnya bermakna, karena mereka memilih orang yang tidak diproses melalui kelembagaan arus bawah partai.
Masalah muncul tatkala kita disuguhi realitas menurunnya kualitas kepemimpinan di semua tingkatan akibat sistem rekrutmen dan sistem pemilihan yang belum mengarah kepada adu kualitas, baik yang menyangkut integritas, kompetensi dan akseptabilitas.
Dalam tatanan masyarakat yang masih berpola budaya paternalistis dan feodalistis, dominannya faktor kepemimpinan harus disadari oleh setiap pemimpin dan menjadi keyakinannya bahwa di tangan merekalah sebenarnya sukses atau gagalnya pelaksanaan otonomi daerah dalam kehidupan masyarakat kita. Oleh karenanya, peranan Pilkada menjadi sangat menentukan.
Seperti diketahui, setelah hampir tiga tahun bangsa ini menggelar Pilkada langsung, bermacam persoalan klasik terus mewarnai perjalanan demokrasi di Indonesia. Politik uang, ketidaktaatan pada peraturan, subordinasi lembaga yang ditunjuk, amuk massa bila kalah, hingga black campaign seperti menempatkan Pilkada pada ranah formal semata. Sebab, senyatanya tak semua orang belum memahami bagaimana berdemokrasi, apalagi menjalankannya. Bagi beberapa pihak, yang penting mereka berkuasa, meski dengan bermacam cara agar mendapatkan dukungan mayoritas.
Selama tahun 2005-2010 telah berlangsung Pilkada langsung di 323 daerah, sementara yang bermasalah terjadi di 105 daerah atau 30 persen dari total daerah yang melangsungkan Pilkada. (Kompas, 18 Februari 2008) Pada tataran yang mendasar, terjadi pembilahan sikap para elite bangsa dalam merespons dinamika pemilihan langsung kepala daerah. Sebagian setuju agar Pilkada diteruskan seperti apa adanya, bisa jadi untuk kepentingan pribadi serta keuntungan finansial. Namun sebaliknya, ada yang menolak atau menuntut pembaruan. Pada kelompok ini, sebagian dilatarbelakangi oleh keprihatinan akan kecenderungan atas kondisi yang berkembang, sebagian lagi menghendaki agar aturan yang ada ditingkatkan kualitasnya, bahkan ada pula yang berpandangan untuk kembali kepada aturan lama.
Belum lagi, akhir-akhir ini juga muncul sajian alternatif untuk memunculkan calon independen.. Kepercayaan kepada Parpol sudah semakin menurun, sementara para wakil rakyat sibuk dengan urusannya masing-masing.
Kesemuanya itu tentunya sah-sah saja, mengandung kebenaran relatif dari subjektivitasnya masing masing. Mudah-mudahan perbedaan pandangan dalam menyikapi Pilkada merupakan dinamika perjuangan bersama untuk menyelamatkan masa depan bangsa dan semata-mata dimaksudkan demi mendekatkan bangsa ini kepada kesejahteraan rakyat. Bukan lagi merupakan sikap yang isinya sebatas memenuhi ambisi perorangan atau kelompok.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Persoalan Pilkada tak dapat dilepaskan dari bagian konsolidasi demokrasi. Demokrasi memang pekerjaan berat yang tidak serta-merta terwujud seperti yang diinginkan, segampang kita membalikkan telapak tangan. Artinya, meski terdapat carut-marut pelaksanaan Pilkada yang hingga kini masih berlarut-larut, niatan baik untuk terus memperbaiki proses demokrasi di republik ini adalah pilihan bijak yang akan terus kita dukung.
Pada realitasnya, saat ini kita masih terkendala dalam mencapai konsolidasi demokrasi, karena ketiga variabel utama yang merupakan prasyarat demokrasi belum kita miliki. Itulah pekerjaan rumah yang harus ditangani oleh bangsa kita.
Secara teoretis, berbagai literatur mengenai konsolidasi demokrasi, mengaitkannya dengan tiga variabel utama yang perlu diperhatikan. Variabel pertama adalah perbaikan kondisi ekonomi. Variabel kedua, terciptanya kultur politik yang demokratis. Dengan kata lain, ada suatu pembelajaran dan pendewasaan politik yang berjalan efektif di mana masyarakat dan semua elemen demokrasi makin mampu untuk mengaktualisasikan demokrasi substansial ke praktik-praktik demokrasi prosedural secara optimal. Variabel ketiga adalah adanya penguatan konsensus politik di kalangan elite. Kuat atau tingginya tingkat konsensus di satu sisi dan rendahnya tingkat konflik politik di kalangan elite di sisi lain memiliki pengaruh positif bagi stabilitas politik yang demokratis.
B. Saran
Persoalan Pilkada ini, secara sederhana dapat dicari penyebabnya, yakni apakah sistemnya yang salah atau manusianya; atau bisa jadi kedua-duanya. Hal ini menjadi penting agar kita tidak terjebak dengan pemikiran sempit yang terlalu cepat menyalahkan dan mengganti sistem demi kepentingan individu atau kelompok.
Saran Pertama, menyangkut penyelenggaraannya maupun kualitas pejabat terpilih dalam pilkada, sosialisasi dan mekanisme Pilkada yang harus lebih baik, Panwas Pemilu yang kredibel, KPUD yang independen, dan sederet penyempurnaan teknis Pilkada harus tetap dilakukan. Kedua, kita bedah orang atau pelaksana Pilkada maka akan kita jumpai segudang kelemahan dan penyimpangan, politik uang, jual beli kendaraan politik, black campaign, pergerakan massa brutal, dsb. Kedewasaan perilaku politik semestinya terus dikembangkan, ketidaksiapan kontestan untuk menerima kekalahan dan menimbulkan kebrutalan massa harus diminimalisasi bahkan ditiadakan, serta berkomitmen pada aturan main.


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin dan A. Zaini Bisri. 2009. Pilkada Langsung Problem dan Prospek Sketsa Singkat Perjalanan Pilkada 2009. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Asfar, Muhammad. 2009. ’Sistem Pilkada Langsung: Beberapa Problem, Implikasi Politik dan Solusinya.’ Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1.

Fitriyah. 2009. ‘Sistem dan Proses Pilkada Langsung.’ Analisis CSIS, Vol. 34, No.3.

Harris, Syamsuddin. 2009. ’Pilkada Langsung dan Masa Depan Otonomi Daerah.’ Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1.

Isra, Saldi. 2009. ’Pilkada Langsung: Catatan Kritis atas Beberapa Isu Krusial dalam UU No. 32 Tahun 2004.’ Jurnal Politika, Vol. 1, No. 1.

0 komentar:

Post a Comment

Tinggalkan Koment Anda